Rabu, 20 Juli 2011

SEKOLAH TINGGI PERIKANAN JAKARTA

Sejarah Singkat

Pada awal tahun enam puluhan, wajah Perikanan di Indonesia masih sangat menyedihkan. Sebagai negara maritim yang mempunyai potensi besar akan hasil laut, dapat dikatakan sangat langka usaha-usaha pemanfaatannya.

Perikanan di laut hanya dikelola oleh nelayan-nelayan tradisional yang menggunakan alat penangkapan, pengolahan serta pemasaran dengan cara yang masih sangat sederhana dan jauh terbelakang dibandingkan dengan negara-negara lain. Ahli-ahli perikanan masih dapat dihitung dengan jari, hanya beberapa yang memperoleh pendidikan dari Jepang dan sebagian lagi dari Jerman. Situasi Pendidikan di Indonesia pada umumnya masih melanjutkan sistim pendidikan Belanda, yakni tidak diarahkan untuk mencetak tenaga pelaksana yang terampil di bidang usaha, demikian juga di dunia Perikanan.
dr. Aziz Saeh, selaku Menteri Pertanian dan Agraria pada saat itu, prihatin melihat kondisi perikanan di Indonesia, di mana nelayan masih terbelakang dalam bidang tehnik, sosial dan ekonomi.

Satu-satunya usaha perikanan yang berarti hanyalah Perusahaan milik Pemerintah : “BADAN PIMPINAN UMUM PERIKANAN”, atau disingkat : BPU PERIKANI dengan Presiden Direktur Imam Sutopo. Perusahaan ini mempunyai kegiatan di Jakarta, Semarang, Surabaya, Belawan, Aer Tembaga (Manado) dan Ambon .

BPU PERIKANI ingin mengadakan langkah-langkah modernisasi, tetapi salah satu hambatan penting adalah tidak adanya tenaga-tenaga nelayan berpendidikan sebagai pelaksana modernisasi di darat maupun di laut.

Melihat hal tersebut dr. Aziz Saleh memberi tugas kepada Ir. Soesilo Hardjoprakoso selaku Staff Menteri, untuk menjajagi pembentukan Pendidikan khusus kenelayanan, guna mencetak tenaga-tenaga yang dapat diharapkan dalam pengembangan Perikanan di Indonesia, terutama dalam bidang usaha. Diingatkan agar pembentukannya jangan sampai mengulangi sebagaimana “SEKOLAH USAHA TANI” yang tidak mencapai sasaran.

Sekolah Usaha Tani dimaksudkan untuk mendidik anak petani lulusan Sekolah Rakyat (sekarang sekolah dasar), agar nantinya dapat kembali ke desa sebagai petani terdidik. Namun hasilnya tidak seperti yang diharapkan, setelah menjalani pendidikan selama satu tahun dengan pembiayaan pemerintah, mereka tidak kembali ke desa tetapi masuk menjadi Pegawai Negeri.

Berdasarkan S.K. Menteri Pertanian tanggal 8 September 1960 No. 8924/SK/SD, dibentuk suatu Panitia Pendidikan Perikanan Laut diketuai oleh Imam Sutopo dengan anggota-anggotanya : R.Pranyoto, A.Kartono, Suparso Malangyudo, Ir. Hadi Atmowarsono, yang mempunyai tugas antara lain :
  1. Memberikan saran kepada Menteri Pertanian tentang bentuk, susunan Badan Pendidikan Perikanan Laut yang akan menyelenggarakan pendidikan kejuruan tersebut.
  2. Menentukan kurikulum.
  3. Merencanakan tempat pendidikan, anggaran, perlengkapan serta tenaga-tenaga pengajar.
Pada mulanya tempat pendidikan direncanakan di daerah Ancol, suatu tempat yang memang ideal untuk lembaga pendidikan perikanan karena berdekatan dengan laut, tetapi rencana tersebut tertunda-tunda. Dekat dengan saat berdirinya lembaga pendidikan perikanan tersebut, untuk sementara Departemen Pertanian dan Agraria memberi tanah kebun buah-buahan milik Departemen Pertanian dan Agraria, di daerah Pasar Minggu yang ternyata sampai saat ini telah menjadi kampus permanen.

Berdasarkan S.K. Menteri Pertanian tanggal 9 Juni 1962 No. 31/PA/1962, dibentuk suatu Badan Pendidikan dengan nama LEMBAGA PENDIDIKAN USAHA PERIKANAN berkedudukan di Jakarta yang bertugas :
  1. Mendirikan dan menyelenggarakan sekolah-sekolah Usaha Perikanan dari tingkat menengah sampai tingkat akademi
  2. Mengadakan kursus-kursus tambahan kepada nelayan dan para pegawai Departemen Pertanian dan Agraria
  3. Mengadakan usaha-usaha pendidikan massal kepada masyarakat yang menaruh minat pada usaha perikanan.
Berdasarkan S.K. Menteri Pertanian tanggal 7 September 1962 No. 95/PA/1962, ditetapkan pendidikan perikanan dalam lingkungan LPUP yaitu “AKADEMI USAHA PERIKANAN” yang memberikan pendidikan dan pengajaran tinggi ditujukan khusus kepada keahlian di bidang usaha perikanan, dengan direktur pertama Dr. Rustam Singgih.

Pada Surat Keputusan tersebut Akademi Usaha Perikanan mempunyai tiga jurusan yaitu :
  1. TEHNIK PENANGKAPAN, termasuk tehnik perkapalan dan peralatan perikanan,
  2. TEHNOLOGI PERIKANAN,
  3. EKONOMI PERIKANAN, pemasaran dan ketatalaksanaan usaha (manajemen).
Berdasarkan Keputusan Presiden R.I. No.44 dan No.45 tahun 1974, oleh Menteri Pertanian dengan S.K. No.136/Kpts/Org/4/75 tanggal 5 April 1975, Akademi Usaha Perikanan dialihkan tanggungjawabnya dari Direktorat Jenderal Perikanan kepada Badan Pendidikan, Latihan dan Penyuluhan Pertanian, sehingga sejak tanggal tersebut Direktur Akademi Usaha Perikanan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Badan.

Karena masih kurangnya fasilitas pendidikan serta tenaga pengajar, maka jurusan yang ada pada angkatan pertama barulah Jurusan TEHNIK PENANGKAPAN. JURUSAN PENGOLAHAN HASIL LAUT (TEHNOLOGI PERIKANAN) dibentuk pada angkatan kedua (1966), dan JURUSAN MESIN dibentuk pada angkatan kesebelas (1975).

Pada tahun 1968 terjadi suatu kasus dimana akibatnya mempunyai arti sejarah bagi Akademi Usaha Perikanan. Di Sumatera Utara terdapat satu perusahaan perikanan yang bekerja sama dengan Jepang dalam pengoperasian kapal penangkap, dimana terdapat beberapa alumni AUP yang bekerja bersama dengan tenaga-tenaga Jepang di atas kapal. Pada suatu hari terjadi sengketa antara awak kapal berbangsa Indonesia dengan awak kapal Jepang, yang akibatnya adalah tindakan indisiplinernya alumni-alumni AUP tersebut.

Dengan adanya peristiwa tersebut, maka Nizam Zachman, selaku Direktur Jenderal Perikanan menginstruksikan kepada Direktur AUP untuk melaksanakan tugas-tugas antara lain :
  1. Memperbaiki kurikulum;
  2. Meningkatkan pembinaan mental disiplin;
  3. Merencanakan tempat pendidikan, anggaran, perlengkapan serta tenaga-tenaga pengajar;
  4. Menggantikan istilah “sarjana muda perikanan“ dengan Ahli Penangkap Ikan dan Ahli Pengolahan Ikan.
Berdasarkan SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI nomor 0128/V/1983 tanggal 6 Mei 1983, Diklat AUP telah disahkan sebagai Program Diploma 3 (D3) bidang Perikanan dalam lingkungan Departemen Pertanian.

Selaras dengan lajunya pembangunan, Diklat AUP statusnya ditingkatkan menjadi Sekolah Tinggi Perikanan (STP) berdasarkan Keppres No. 27 tahun 1993 tanggal 18 Maret 1993 yang mempunyai tugas pokok menyelenggarakan program pendidikan keahlian di bidang perikanan (D4) dengan tiga jurusan yaitu : Teknologi Penangkapan Ikan, Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan dan Teknologi Pengelolaan Sumberdaya Perairan.

Pada tahun 2004 Jurusan pada Sekolah Tinggi Perikanan bertambah menjadi empat jurusan dengan masuknya jurusan penyuluhan perikanan yang berada di Cikaret Bogor.

Dengan semakin banyaknya alumni lulusan STP dan tuntutan jaman ke arah profesionalisme, maka pada tahun 2009 akan dibuka Program Pasca Sarjana jurusan Bisnis Manajemen Perikanan.



Visi, Misi & Tujuan

Visi

Lembaga Pendidikan Yang Kompeten dan Inovatif

Misi
Meningkatkan Kompetensi dan Jiwa Wirausaha Sumberdaya Manusia Kelautan dan Perikanan

Tujuan

Menyiapkan sumberdaya manusia yang :

  1. Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
  2. Mempunyai rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan,
  3. Profesional dan berkualitas untuk memenuhi kebutuhan tenaga ahli di bidang perikanan
  4. Berwawasan bisnis
  5. Menguasai teknis dan manajerial
  6. Mampu mengelola dan mengembangkan usaha perikanan bertanggung jawab secara mandiri

Lambang

Lambang STP berupa gambar dan tulisan sebagai berikut:
  1. Gambar kompas dengan arah delapan penjuru angin berwarna kuning emas melambangkan bahwa taruna berasal dari segenap penjuru tanah air dan siap menjelajahi lautan;
  2. Gambar ikan torani berwarna kuning emas melambangkan sikap yang tangkas, cekatan, dan kreatif dalam melaksanakan tugas;
  3. Gambar bintang timur berwarna putih melambangkan cita-cita luhur dengan tidak melupakan sifat-sifat budaya ketimuran;
  4. Gambar gelombang samudera berwarna putih melambangkan semangat yang bergelora tanpa berhenti;
  5. Gambar rumput laut dengan akar bercabang lima berwarna kuning emas melambangkan jangkauan ilmu yang dipelajari mulai dari dasar perairan sampai ke permukaannya dengan tetap setia mengamalkan Pancasila dan UUD 1945;
  6. Tulisan Sekolah Tinggi Perikanan berwarna putih melengkung memayungi lambang;
  7. Tulisan Sasanti Jalanidhitah Sarva Jivitam berwarna hitam di dalam pita berwarna putih mengandung arti laut merupakan sumber kehidupan.

Unsur Pimpinan

Unsur Pimpinan Sekolah Tinggi Perikanan terdiri dari Ketua dan tiga Pembantu Ketua.

Ketua STP mempunyai tugas memimpin penyelenggaraan pendidikan, penelitian terapan, dan pengabdian kepada masyarakat, serta membina pendidik, tenaga kependidikan, taruna, serta membina hubungan dengan masyarakat dan lembaga terkait, Bilamana Ketua berhalangan tidak tetap, Puket I bertindak sebagai Pelaksana Harian Ketua.

Pembantu Ketua terdiri dari:
  1. Pembantu Ketua Bidang Akademik (Puket I)
  2. Pembantu Ketua Bidang Administrasi Umum (Puket II)
  3. Pembantu Ketua Bidang Ketarunaan (Puket III)
Pembantu Ketua I STP bidang akademik yaitu dosen yang mempunyai tugas tambahan membantu Ketua dalam memimpin pelaksanaan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.

Pembantu Ketua II STP bidang administrasi umum yaitu dosen yang mempunyai tugas tambahan membantu Ketua dalam memimpin pelaksanaan kegiatan di bidang keuangan dan administrasi umum.
Pembantu Ketua III STP bidang ketarunaan dan alumni yaitu dosen yang mempunyai tugas tambahan membantu Ketua dalam memimpin pelaksanaan kegiatan di bidang pembinaan dan pelayanan kesejahteraan taruna.

Sejak berdirinya Sekolah Tinggi Perikanan, telah terjadi 12 kali penggantian Ketua yaitu :
1.
Dr. Rustam Singgih
1962 - 1966
2.
Kol. (L) Sutejo Ismail
1966 - 1967
3.
Ir. Hadi Atmowarsono1967 - 1972
4.
Drs. Rustam Budiono
1972 - 1976
5.
Ir. L. Hasyim Ardidja
1976 - 1991
6.
Ir. Mat Siin Asan
1991 - 1994
7.
Ir. H. Abdul Munif Kadir
1994 - 2001
8.
Dr. H. Wahyono HP,M.Ed2001 - 2003
9.
Ir. Dedy H. Sutisna,MS2003 - 2004
10.
Dr. Ir. Iin Siti Djunaidah,M.Sc
2004 - 2006
11.
Dr. Maimun, M.Ed

2006 - 2010

12.Dr. Aef Permadi, S.Pi, M.Si
2010 - Sekarang


Sistem Pembinaan

Pembinaan dan Pengawasan Taruna-Taruni dalam bidang kedisiplinan, pengembangan minat dan bakat merupakan tugas Unit Pembinaan Taruna dan Asrama (UPTA) sebagai salah satu unit kerja di Sekolah Tinggi Perikanan (STP) dibawah koordinasi Pembantu Ketua III (puket III).

Pembinaan Taruna STP berkaitan dengan hal-hal yang sifatnya non akademis baik ekstrakurikuler maupun kokurikuler. Seluruh kegiatan pembinaan yang sifatnya non akademis dengan pendekatan kegiatan terjadwal dan tidak terjadwal. Kegiatan yang terjadwal adalah kegiatan yang dilakukan berdasarkan rencana yang tersusun dalam jadwal kegiatan taruna, dalam rangka mendukung berjalannya kegiatan pembinaan secara efisien dan efektif. Sedangkan kegiatan yang tidak terjadwal adalah kegiatan yang dilakukan atau dilaksanakan berdasarkan event-event maupun undangan kegiatan yang menunjang atau berkaitan dengan kegiatan taruna untuk kemajuan taruna STP.

Pelaksanaan dari seluruh kegiatan Taruna-Taruni STP yang bersifat pembinaan diselenggarakan dengan berpedoman pada SPSKT (Sistem Pembinaan Sikap dan Kepribadian Taruna) serta aturan-aturan lain yang berlaku di Sekolah Tinggi Perikanan.

Pembinaan ketarunaan bertujuan mengembangkan sikap dan kepribadian taruna untuk mewujudkan manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan

Proses Pembinaan Taruna
  • Penerimaan Taruna Baru
  • Latihan Dasar Kedisiplinan Taruna (Latdas Lintar)
  • Masa Orientasi Studi dan Ketarunaan (Mostar)
  • Pelantikan Taruna Baru
  • Masa Basis


Limbah Tambang Terus Cemari Lautan, Isu Pemanasan Global Bisa Menyesatkan

Menjelang penyelenggaraan Konferensi Kelautan Dunia pada 11-15 Mei 2009 di Manado, Sulawesi Utara, Indonesia belum menunjukkan konsistensinya menjaga lingkungan kelautan. Aktivitas pertambangan tetap mencemari lautan.

Sedikitnya sampai saat ini masih terdapat 340.000 ton limbah tambang yang terbuang ke laut dan mencemarinya hanya dari dua perusahaan asing terbesar yang beroperasi di wilayah Papua dan Nusa Tenggara Barat.

"Dengan penyelenggaraan WOC (Konferensi Kelautan Dunia), masalah mendasar untuk menjaga lingkungan kelautan dari aspek pencemaran limbah tambang di Indonesia sendiri masih terabaikan. Euforia perubahan iklim membuat tersesat dan menjadikannya sebagai pencarian sumber dana baru atau skema finansial yang baru," kata Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang, Siti Maemunah, Selasa (10/3) di Jakarta.

Menurut Maemunah, substansi perusakan lingkungan kelautan akibat operasional tambang di Indonesia masih ditutupi. Tanpa ketegasan Indonesia, penyelenggaraan WOC diragukan akan mampu menyentuh substansi.

"Utang kerusakan ekologis kelautan oleh kegiatan pertambangan dari negara-negara lain tersebut tidak akan sebanding dengan dana-dana hibah asing untuk program rehabilitasi kelautan kita," kata Maemunah.

Usulan konkret yang perlu disampaikan, menurut Maemunah, seperti yang pernah dihasilkan dalam Konferensi Internasional Pembuangan Tailing ke Laut di Manado pada 23-30 April 2001. Pada konferensi yang dihadiri delegasi 15 negara tersebut diserukan komitmen untuk menjaga kelestarian kelautan dengan menolak pembuangan limbah tambang sampai ke laut.

"Perusahaan pertambangan selalu menyatakan limbah tambang secara teknis sudah ditangani di darat. Namun, pada kenyataannya laut tetap menjadi tempat sampah bagi pertambangan karena limbah terhanyut oleh air hujan," kata Maemunah.

Pencemaran dibahas

Secara terpisah, Sekretaris Panitia Nasional WOC Indroyono Soesilo mengatakan, dari 32 sesi simposium pada penyelenggaraan WOC nanti, tentu akan dibahas aspek pencemaran laut dari kegiatan pertambangan.

Akan tetapi, fokus pada tema besar penyelenggaraan WOC akan tetap pada aspek peran dan pengaruh kelautan terhadap perubahan iklim.

"Ada empat hal yang ingin diraih dari penyelenggaraan WOC ini," kata Indroyono.

Keempat hal tersebut meliputi pembahasan kesepakatan tentang peran kelautan terhadap perubahan iklim global, dampak perubahan iklim global terhadap kelautan, program adaptasi dan mitigasi menghadapi perubahan iklim global, serta menggalang kerja sama internasional untuk mengatasi perubahan iklim global.

"Kesepakatan tersebut yang akan dituangkan ke dalam Manado Ocean Declaration. Kegiatan pertambangan terkait dengan perubahan iklim dan kelautan sehingga masalah ini tetap akan dibahas," kata Indroyono.

Tambang dihentikan

Sementara itu, Maemunah mengatakan, bulan April 2009 ada kebijakan pemerintah atas desakan berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM) untuk menghentikan kegiatan tiga perusahaan tambang yang mencemari laut di Waigeo, Kepulauan Raja Ampat, Papua. Perairan tersebut dikenal sebagai kawasan terkaya biodiversitasnya sedunia.

"Meski penambangan dihentikan, pemulihan ekosistem tidak akan mudah," ujar Maemunah.

Dia juga menyebutkan, era otonomi daerah berimplikasi pada distribusi kewenangan yang tidak berpihak bagi lingkungan kelautan. Izin usaha penambangan di berbagai wilayah provinsi dan kabupaten atau kota cenderung bertambah. (NAW). Sumber : Rabu, 11 Maret 2009 /KOMPAS.
Sabtu, 16/07/2011 09:12 WIB
Menteri Fadel Tidak Terima ABK Indonesia Disebut 'Babi' & 'Monyet'
Rachmadin Ismail - detikNews

;
Menteri Fadel Tidak Terima ABK Indonesia Disebut 'Babi' & 'Monyet'
Jakarta - Anak Buah Kapal (ABK) asal Indonesia yang bekerja di sebuah perusahaan penangkap ikan di Selandia Baru diperlakukan tidak baik. Tindak kekerasan hingga sebutan kasar sering diterima para ABK. Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad pun meradang.

Fadel berjanji, akan membela para ABK dan mengecek ulang informasi yang disampaikan media Selandia Baru. Politisi Golkar tersebut tidak terima dengan perlakuan yang diterima para pekerja asal Tanah Air.

"Ya, kita akan bela dan cek data-data tersebut. Tidak terima warga Indonesia diperlakukan demikian," ucap Fadel dalam pesan singkat kepada detikcom, Sabtu (16/7/2011).

Sebelumnya diberitakan media Selandia Baru One News, perusahaan kapal penangkap ikan Selandia Baru diketahui kerap melakukan tindak kekerasan dan pelecehan terhadap ABK asal Indonesia. Kata-kata kasar pun kadang terlontar.

Salah seorang WNI penangkap ikan, Sunardi, mengatakan kepada One News telah menjadi korban kekerasan dan belum digaji secara pantas.

"Setiap hari mereka memanggil kami dengan sebutan monyet, kotoran dan babi," ujarnya.

ABK asal Indonesia lainnya bernama Sodikan bahkan mengaku pernah dipukul di bagian belakang kepala.

"Mereka juga menggunakan kaki untuk menendang, termasuk saya," ucap Sodikan.

Pihak yang bertanggung jawab atas insiden tersebut adalah Southern Storm Fishing, perusahaan asal Christchurch, Selandia Baru. Kapal mereka sedang dalam proses penyelidikan setelah para awak kapal asal Indonesia menolak bekerja di kapal tersebut.

Sebagai informasi, ada sekitar 2.500 pekerja asal Indonesia, Vietnam dan Filipina yang bekerja di perusahaan penangkap ikan Selandia Baru. Rata-rata semua mendapat perlakuan kasar dan dipaksa bekerja tanpa istirahat. Bahkan hanya mendapat penghasilan US$ 260 hingga US$460.

Visi, Misi, Grand Strategy dan Sasaran Strategis KKP

VISI :

Pembangunan Kelautan dan Perikanan :

‎”Indonesia Penghasil Produk Kelautan dan Perikanan Terbesar 2015”‎

MISI :

" Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat Kelautan dan Perikanan "

TUJUAN ((GRAND STRATEGY (The Blue Revolution Policies)) :

  1. Memperkuat Kelembagaan dan SDM secara Terintegrasi.
  2. Mengelola Sumber Daya Kelautan dan Perikanan secara Berkelanjutan.
  3. Meningkatkan Produktivitas dan Daya Saing Berbasis Pengetahuan.
  4. Memperluas Akses Pasar Domestik dan Internasional.


SASARAN STRATEGIS :

1. Memperkuat Kelembagaan dan SDM secara Terintegrasi.

  • Peraturan perundang-undangan di bidang Kelautan dan Perikanan sesuai kebutuhan nasional dan tantangan global serta diimplementasikan secara sinergis lintas sektor, pusat dan daerah."
  • Seluruh perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, dan pelaporan terintegrasi, akuntabel dan tepat waktu berdasarkan data yang terkini dan akurat.
  • Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan memiliki kompetensi sesuai kebutuhan.

2. Mengelola Sumber Daya Kelautan dan Perikanan secara Berkelanjutan.

  • Sumber daya Kelautan dan Perikanan dimanfaatkan secara optimal dan berkelnjutan.
  • Konservasi kawasan dan jenis biota perairan yang dilindungi dikelola secara berkelanjutan.
  • Pulau-pulau kecil dikembangkan menjadi pulau bernilai ekonomi tinggi.
  • Indonesia bebas Illegal, Unreported dan Unregulated (IUU) Fishing serta kegiatan yang merusak sumber daya kelautan dan perikanan.

3. Meningkatkan Produktivitas dan Daya Saing Berbasis Pengetahuan.

  • Seluruh kawasan potensi perikanan menjadi kawasan Minapolitan dengan usaha yang bankable.
  • Seluruh sentra produksi kelautan dan perikanan memiliki komoditas unggulan yang menerapkan teknologi inovatif dengan kemasan dan mutu terjamin.
  • Sarana dan Prasarana Kelautan dan Perikanan mampu memenuhi kebutuhan serta diproduksi dalam negeri dan dibangun secara terintegrasi.

4. Memperluas Akses Pasar Domestik dan Internasional.

  • Seluruh desa memiliki Pasar yang mampu memfasilitasi penjualan hasil perikanan.
  • Indonesia menjadi market leader dunia dan tujuan utama investasi di bidang kelautan dan perikanan.

Manajemen Budidaya Ikan Sistem KJA yang Berkelanjutan di Danau/Waduk

Manajemen Budidaya Ikan Sistem KJA yang Berkelanjutan di Danau/Waduk

Dalam rangka mendukung visi Kementerian Kelautan dan Perikanan yaitu menjadikan Indonesia sebagai penghasil ikan terbesar tahun 2015, budidaya ikan sistem KJA memiliki prospek yang cerah untuk peningkatan produksi ikan. Peningkatan produksi ikan sebesar 353% secara langsung akan berdampak pada meningkatnya usaha budidaya ikan intensif dengan tingkat kepadatan ikan yang tinggi dan pemberian pakan buatan. Pada saat jumlahnya melampaui batas tertentu dapat mengakibatkan proses sedimentasi yang tinggi berupa penumpukan sisa pakan di dasar perairan yang akan menyebabkan penurunan kualitas perairan (pengurangan pasokan oksigen dan pencemaran air danau/waduk).

Sisa pakan dan metabolisme dari aktifitas pemeliharaan ikan dalam KJA serta limbah domestik yang berasal dari kegiatan pertanian maupun dari limbah rumah tangga menjadi penyebab utama menurunnya fungsi ekosistem danau yang berakhir pada terjadinya pencemaran danau, mulai dari eutrofikasi yang menyebabkan ledakan (blooming) fitoplankton dan gulma air seperti enceng gondok (Eichornia crassipes), upwelling dan lain-lain yang yang dapat mengakibatkan organisme perairan (terutama ikan-ikan budidaya) serta diakhiri dengan makin menebalnya lapisan anaerobik di badan air danau.

Kondisi inilah yang mengakibatkan salah satunya adalah kematian massal ikan tiap tahun terjadi di berbagai danau/waduk di Indonesia. Selain self polution (sisa pakan dan feses ikan budidaya), meningkatnya polusi di area ini diperparah oleh adanya buangan limbah pabrik tekstil dan buangan limbah rumah tangga yang memang penduduknya sudah terlalu padat tinggal di sekitar kedua waduk tersebut. Melihat akibat yang ditimbulkan dari budidaya ikan sistem KJA di danau/waduk maka budidaya ikan sistem KJA perlu mengindahkan manajemen budidaya yang berkelanjutan. Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui manajemen budidaya ikan yang berkelanjutan di kawasan danau/waduk.

Keuntungan merupakan target utama dalam menjalankan bisnis industri budidaya perikanan khususnya budidaya sistem KJA di danau/waduk. Pembudidaya ikan berpikir kearah bagaimana cara-cara terbaik untuk memaksimalkan keuntungan sehingga memicu berbagai permasalahan terkait dengan sistem budidaya yang berkelanjutan. Adapapun permasalahan yang timbul yaitu penurunan fungsi ekosistem danau/waduk berupa pencemaran perairan budidaya yang secara langsung mengakibatkan menurunnya produksi perikanan. Maka sudah sepatutnya mencari solusi pemecahannya berupa manajemen budidaya ikan sistem KJA yang berkelanjutan yang sesuai dengan konsep dasar pemikiran pembangunan perikanan budidaya. Manajemen budidaya ikan yang berkelanjutan adalah pengelolaan yang dapat berlanjut sepanjang waktu sebagai hasil proses kebijakan sosio-politik, menghasilkan pertumbuhan ekonomi dan secara ekologis harus dapat menjamin kelestarian sumberdaya perairan. Secara umum budidaya ikan sistem KJA merupakan kegiatan ekonomi yang menguntukan jika dikelola dengan baik. Belajar dari pengalaman yang sudah terjadi diperlukan cara pengelolaan atau manajemen perairan danau/waduk sesuai dengan daya dukung. Tujuan pengelolaan tersebut yaitu peningkatan produksi ikan dan memelihara produksi dan sumber daya perairan tersebut sebagai bagian yang tak terpisahkan dari pemanfaatan danau/waduk.



Pemilihan lokasi

Danau/waduk yang dipilih sebagai kawasan untuk pengembangan budidaya ikan sistem KJA dengan minimal danau/waduk 100 ha dengan memperhatikan daya dukungnya. Pemanfaatan danau/waduk untuk kegiatan budidaya ikan sistem KJA harus dilakukan secara rasional dan tetap mengacu pada tata ruang yang telah ditentukan serta kondisi sumber daya dan daya dukung perairannya dengan maksud untuk menjaga kelestarian lingkungan dan mempertahankan fungsi utama waduk. Pembagian zonazi untuk perairan waduk secara umum dilakukan dengan mengacu pada kondisi lingkungan fisik, sifat kehidupan dan penyebaran populasi ikan dalam usahanya mengelola perikanan yang terpadu dan lestari (Ilyas et al, 1989).

Salah satu penyebab kematian massal ikan budidaya adalah penurunan tinggi muka air. Apabila tinggi muka air menurun maka jarak karamba jaring apung dengan dasar menjadi lebih dekat, akibatnya ikan budidaya semakin mendekati lapisan hipolimnion yang reduktif. Sementara kedalaman perairan dangkal, sehingga jarak KJA dan dasar menjadi semakin dekat. Akibatnya kolom air yang reduktif semakin mendekati KJA. Kolom air menjadi anoksik atau lapisan anoksik telah mencapai permukaan sehingga dapat disebutkan bahwa penyebab kematian massal karena kekurangan oksigen dan tingginya konsentrasi zat toksik (H2S) (Simarmata, 2007). Sebaiknya pada saat tinggi muka air minimum, padat tebar ikan di KJA dikurangi atau ikan budidaya diganti dengan jenis yang lebih toleran terhadap konsentrasi DO yang rendah. Menurut Krismono (1999), kegiatan budaya ikan sistem KJA di danau/waduk, kedalaman air disyaratkan minimal 5 m pada jalur yang berarus horizontal. Kedalaman tersebut dimaksudakan untuk menghindari pengaruh langsung kualitas air yang jelek dari dasar perairan



Daya dukung danau/waduk, desain, tata letak dan konstruksi KJA

Menurut Soemarwoto (1991), bahwa luas areal perairan waduk yang aman untuk kegiatan budidaya ikan di KJA adalah 1% dari luas seluruh perairan waduk dengan pertimbangan bahwa angka 1% tersebut non significant untuk luasan suatu waduk serbaguna sehingga dianggap tidak akan mengganggu kepentingan fungsi utama waduk.
Memperbaiki konstruksi KJA yang ramah lingkungan dengan pelampung polystyrene foam. KJA yang terbuat dari bambu dengan pelampung polystyrene foam merupakan KJA yang paling ramah lingkungan dibandingkan dengan KJA lainnya (Prihadi dkk, 2008).
Menurut Rochdianto (2000), letak antara jaring apung sebaiknya berjarak 10–30 m agar arus air leluasa membawa air segar ke dalam jaring-jaring tersebut, sedangkan menurut Schmittou (1991), jarak antar unit KJA yang baik adalah 50 m.
Pengendalian/pengurangan jumlah KJA yang beroperasi.
Pemindahan lokasi KJA pada saat akan terjadi umbalan yang terjadi secara menyeluruh (holomictic) ke lokasi perairan yang lebih dalam (Enan dkk, 2009).
Untuk meningkatkan DO di perairan menggunakan: 1). kincir yang dapat dipasang pada setiap unit KJA atau pada satu lokasi KJA (Enan dkk, 2009), 2). pompa air yang dipancarkan dari atas (Krismono, 1995), dengan penambahan oksigen murni yang diberikan pada saat oksigen kritis (dini hari) (Danakusumah, 1998).
Keramba jaring apung ganda/berlapis dikembangkan dengan tujuan untuk mengurangi beban dari sisa pakan, yang dapat mencemari perairan.
Kuantitas limbah pakan yang signifikan tinggi perlu diadakan restorasi waduk melalui pengangkatan sedimen (dredging) agar kegiatan perikanan dapat aman dari tingginya bahan toksik dan limbah pencemaran ini berpeluang dijadikan pupuk pertanian (Yap, 2003).

Manajemen pakan

Pemberian pakan dengan sistem pompa akan mengakibatkan banyak pakan yang terbuang di dasar perairan danau/waduk. Untuk mengurangi pakan yang terbuang ke dasar danau/waduk, efisiensi pakan dapat dilakukan dengan cara pemberian pakan berselang-seling dalam hal ini ikan tidak setiap hari diberi makan namun diberikan berselang-seling yakni satu hari diberi makan, hari berikutnya tidak diberi makan (dipuasakan) ternyata pertumbuhan tidak terganggu dan efisiensi pakan 20–30% (Krismono, 1999). Efisiensi pakan juga dapat dilakukan dengan menggunakan benih unggul yang efektif memanfaatkan pakan sedangkan untuk kondisi kualitas air yang jelek menggunakan benih ikan patin (Pangasius sp) yang tahan kualitas air jelek (Prihadi, 2005). Selain itu, perlu melakukan upaya pemberian pakan dengan kadar fosfor yang rendah atau pemberian enzim fitase terhadap ketersediaan fosfor dari sumber bahan nabati pakan ikan. Penerapan pemberian pakan yang efektif dengan rasio 3% dengan pakan yang rendah kandungan fosfornya dengan pemberian tepung ikan seyogyanya dikurangi, sehingga dapat mengurangi limbah (sisa pakan) yang masuk ke perairan danau. Oleh karena itu, perlu alternatif lain sebagai substitusi tepung ikan yaitu antara lain protein sel tunggal (PST), tepung rumput laut. Kualitas pakan, selain ditentukan oleh nilai nutrisinya, dalam Suhenda et al. (2003) juga disebutkan bahwa pakan yang baik untuk pembesaran ikan dalam KJA adalah berbentuk pelet yang tidak mudah hancur, tidak cepat tenggelam serta mempunyai aroma yang merangsang nafsu makan ikan.



Pemilihan jenis ikan dan penebaran benih

Jenis ikan yang dibudidayakan di KJA harus memenuhi kriteria:

Tidak mengancam keanekaragaman hayati di perairan waduk;
Mempunyai nilai ekonomis tinggi;
Dalam proses budidaya menghasilkan limbah organik yang sedikit.

Pemilihan benih bertujuan untuk mendapatkan benih yang sehat dan bermutu. Beberapa hal yang harus diperhatikan:

Benih ditebar sesuai SNI yang dijamin dengan sertifikat sistem mutu perbernihan dan padat penebaran sesuai dengan SNI pembesaran di KJA;
Sebelum ditebar benih harus dilakukan penyesuaian dengan kondisi perairan.

Pola dan perizinan usaha

Kegiatan usaha budidaya ikan sistem KJA dapat dilakukan melalui Pola Swadaya dan Pola Kemitraan Usaha. Dalam pengelolaan danau/waduk, hendaknya tidak memikirkan keuntungan dari aspek ekonomi saja tetapi juga harus mempertimbangkan aspek lingkungan. Hal ini dapat dilakukan dengan pengelolaan zonasi danau/waduk yang sesuai. Selain itu, sisi perizinan pendirian KJA diprioritaskan pada masyarakat sekitar danau/waduk. Tetapi masalah yang muncul dari masyarakat sekitar waduk waduk yaitu ketiadaan modal.

Pengembangan budidaya ikan sistem KJA harus dibangun pada suatu sistem produksi yang secara ekologi, ekonomi dan sosial mampu memberikan manfaat yang berkelanjutan yang didukung dengan inforamsi ilmiah dan peraturan. Stratergi yang dilakukan pada budidaya ikan sistem KJA yang berkelanjutan yaitu meningkatkan kemampuan daya dukung lingkungan danau/waduk. Manajemen budidaya ikan sistem KJA dapat dilakukan dengan pemilihan lokasi, penentuan daya dukung, desain, tata letak, konstruksi KJA, manajemen pakan, pemilihan jenis ikan dan penebaran benih serta pola dan perizinan usaha.

Berikut ini adalah saran yang perlu dilakukan dalam mendukung manajemen budidaya ikan sistem KJA yang berkelanjutan di Danau/Waduk, yaitu :

Perlu menerapkan budidaya ikan berbasis trophic level (aquaculture based trophic level) agar produktivitas perairan tetap optimal.
Perlu pendekatan sosial budaya dan sosialisasi peraturan yang tepat pada strategi pengurangan jumlah KJA dan penataan kembali lokasi budidaya ikan sistem KJA.
Perlu koordinasi antara pembudidaya, pengelola waduk, pemerintah, masyarakat sekitar waduk dalam memanfaatkan danau/waduk dan menjaga kelestariannya.
Perlu dukungan sarana dan prasarana yang terkait budidaya KJA dalam upaya manajemen budidaya ikan sistem KJA yang lestari dan berkelanjutan.

Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu

Ketika dunia dikejutkan dengan fakta bahwa, setiap delapan detik seorang anak meninggal dunia karena penyakit terkait air dan 80% penyakit di negara berkembang disebabkan karena kontaminasi air (data UNEP). Kemudian, sekitar dua juta ton limbah dibuang ke sungai dan danau setiap harinya, satu liter limbah dapat mencemari delapan liter air bersih, dan jika pencemaran air terus berlanjut, dunia akan kehilangan 18.000 km3 air bersih pada 2050 (UN World Water Development Report, 2009). Maka tercetus sebuah konsep, pengelolaan sumber daya air terpadu/ integrated water resource management (IWRM).

IWRM adalah proses yang mengutamakan fungsi koordinasi dan pengelolaan air, tanah dan sumber daya terkait guna memaksimalkan hasil secara ekonomis dan kesejahteraan sosial dalam pola yang tidak mengorbankan keberlangsungan ekosistem vital (Global Water Partnership-Technical Advisory Committee, 2000). Konsep IWRM ini membawa paradigma baru yaitu lebih mengutamakan keterpaduan lintas sektor, keterpaduan pengelolaan, keterpaduan lingkungan dan keterpaduan antar individu. Konsep ini memilih pendekatan bottom up ketimbang top down dan mendorong pengelolaan sumber daya secara multi sektor serta multi disiplin.

Pendekatan terpadu pada pengelolaan sumber daya air akan mengedepankan kemajuan penggunaan sumber daya air, dan memupuk keberlangsungan sumber daya air dan kesetaraan sesama pemangku kepentingan. Dalam Agenda 21 UN Conference on Environment and Development, Rio de Janeiro, 1992, dicetuskan bahwa pengelolaan sumber daya air secara menyeluruh dan terpadu lintas sektor dalam kerangka kebijakan sosial ekonomi nasional adalah sungguh penting.

Karena air adalah elemen vital yang menunjang kehidupan dan pembangunan. Maka pengelolaan berkesinambungan harus mempertimbangkan faktor sosial ekonomi dan lingkungan. IWRM adalah proses utama dimana berbagai faktor terhubung, sehingga memungkinkan pengambilan keputusan dari berbagai level dalam kerangka koordinasi dan perencanaan lintas sektor dari berbagai kalangan terkait.

Prinsip utama IWRM, sesuai dengan prinsip Dublin 1991 adalah pembangunan dan pengelolaan Sumber Daya Air harus berdasarkan pendekatan partisipatif melibatkan berbagai pengguna, perencana dan pembuat kebijakan di semua tingkat.

Konsep IWRM atau pengelolaan sumber daya air terpadu kemudian diadopsi pemerintah Indonesia dalam UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Disebutkan dalam pasal 3 UU SDA bahwa ”Sumber daya air dikelola secara menyeluruh, terpadu dan berwawasan lingkungan hidup...”. Lebih lanjut dalam pasal 85 ayat 1 UU SDA menyebutkan, ”Pengelolaan sumber daya air mencakup kepentingan lintas sektoral dan lintas wilayah yang memerlukan keterpaduan tindak untuk menjaga kelangsungan fungsi dan manfaat air dan sumber air.” kemudian pasal 85 ayat 2 menyebukan, ”Pengelolaan sumber daya air dilakukan melalui koordinasi dengan mengintegrasikan kepentingan berbagai sektor, wilayah, dan para pemilik kepentingan dalam bidang sumber daya air.”

Sesuai amanat undang-undang itu, maka pendekatan pengelolaan sumber daya air terpadu dilakukan untuk membenahi permasalahan Citarum.(www.citarum.org)

Marine Ecosystems

Corel reef ecosystem  - photo by Wayne Davis

Marine ecosystems are a part of the largest aquatic system on the planet, covering over 70% of the Earth's surface. The habitats that make up this vast system range from the productive nearshore regions to the barren ocean floor. Some examples of important marine ecosystems are:

  • Oceans
  • Estuaries and Salt Marshes
  • Coral Reefs and Other Tropical Communities (Mangrove Forests)
  • Coastal areas like Lagoons, Kelp and Seasgrass Beds and Intertidal systems (rocky, sandy, and muddy shores)

Marine ecosystems are home to a host of different species ranging from tiny planktonic organisms that comprise the base of the marine food web (i.e., phytoplankton and zooplankton) to large marine mammals like the whales, manatees, and seals. In addition, many fish species reside in marine ecosystems including flounder, scup, sea bass, monkfish, squid, mackerel, butterfish, and spiny dogfish. Birds are also plentiful including shorebirds, gulls, wading birds, and terns. Some marine animals are also endangered including whales, turtles, etc. In summary, many animal species rely on marine ecosystems for both food and shelter from predators.

Rocky Shore (Erica Rosen/TPMC)

Marine ecosystems contain several unique qualities that set them apart from other aquatic ecosystems, the key factor being the presence of dissolved compounds in seawater, particularly salts. This total gram weight of dissolved substances (salts) in one kg of seawater is referred to as salinity. In general 85% of the dissolved substances are Sodium (Na) and Chlorine (Cl) in seawater. On average seawater has a salinity of 35 parts per thousand grams (ppt) of water. These dissolved compounds give seawater its distinctive "salty" taste, affect species composition of particular marine habitats, and prevent oceans from freezing during the winter. Daily changes in factors such as weather, currents, and seasons as well as variations in climate and location will cause salinity levels to vary among different marine ecosystems. In areas such as estuaries, tidal marshes, and mangrove forests, tidal and freshwater influences from river and streams makes it necessary for marine organisms to adapt to a wide range of salinity levels. These organisms such as mussels, clams, and barnacles, are called euryhaline (salt tolerant) organisms. Other organisms, in particular finfish, are unable to tolerate such changes in salinity. These organisms are considered to be stenohaline (salt intolerant). These species require more constant levels of salinity, forcing them to either migrate to new areas when fluctuations in salinity levels occur or to seek out areas where salinity change is minimal (e.g., the deep ocean).

Marine ecosystems - photo by Wayne Davis

Like other aquatic ecosystems, marine ecosystems require nutrients and light to produce food and energy. However, both nutrients and light are limiting factors in marine ecosystem productivity. Like many other aquatic plants, photosynthetic marine organisms (i.e., phytoplankton) rely upon sunlight and chlorophyll a to absorb visible light from the sun as well as nitrogen (N), phosphorus (P), and silicon (Si) to generate food and promote growth and reproduction. However, the amount of light penetrating the ocean surface tends to decrease with increasing water depth, therefore photosynthesis can only take place within a small band near the surface of the water (called the photic zone). In addition, nutrient availability often varies significantly from place to place. For example, in the open ocean, nutrient levels are often very poor causing primary production to be very low. In contrast, nearshore waters such as estuaries and marshes are often rich in nutrients, allowing primary production to be very high. In some instances, nearshore ecosystems have an excess of nutrients due to runoff and other terrestrial sources. Excess nutrients can cause an over-stimulation of primary production, depleting oxygen levels and causing eutrophic conditions to occur in coastal habitats.

Marine ecosystems are very important in to the overall health of both marine and terrestrial environments. According to the World Resources Center, coastal habitats alone account for approximately 1/3 of all marine biological productivity, and estuarine ecosystems (i.e., salt marshes, seagrasses, mangrove forests) are among the most productive regions on the planet. In addition, other marine ecosystems such as coral reefs, provide food and shelter to the highest levels of marine diversity in the world.

Flock of Seagulls at sea (Commander John Bortniak, NOAA Corps)

The diversity and productivity of marine ecosystems are also important to human survival and well-being. These habitats provide us with a rich source of food and income, and support species that serve as animal feed, fertilizers for crops, additives in foods (i.e., ice-cream) and cosmetics (i.e., creams and lotions). Areas such as mangroves, reefs, and seagrass beds also provide protection to coastlines by reducing wave action, and helping to prevent erosion, while areas such as salt marshes and estuaries have acted as sediment sinks, filtering runoff from the land. Despite the importance of marine ecosystems, increased human activities such as overfishing, coastal development, pollution, and the introduction of exotic species have caused significant damage and pose a serious threat to marine biodiversity. Please visit USEPA's Web site for resources on Marine Ecosystems, Oceans, Coasts and Estuaries, and Marine Species at Risk.

Freshwater Ecosystems

Freshwater ecosystems are aquatic systems which contain drinkable water or water of almost no salt content. Freshwater resources include lakes and ponds, rivers and streams, reservoirs, wetlands, and groundwater. The United States derives many benefits from these freshwater resources. They provide the majority of our nation's drinking water resources, water resources for agriculture, industry, sanitation, as well as food including fish and shellfish. They also provide recreational opportunities and a means of transportation. In addition, freshwater ecosystems are home to numerous organisms (e.g., fish, amphibians, aquatic plants, and invertebrates). It has been estimated that 40% of all known fish species on Earth come from freshwater ecosystems (NatureServe– Rivers of Life: Critical Watersheds for Protecting Freshwater Biodiversity) Exit EPA Disclaimer. Unfortunately, rivers and streams are also among the most endangered habitats.

Number of Species at Risk - Map (From The Nature Conservancy) - the Nature Conservancy coupled withthe Natural Heritage Network report that since the first European settlement, 21 out of 822 native American fish species have become extinct. They have also developed a map of species at risk by watershed in the United States which illustrates that the Southeastern United States is experiencing some of the highest rates of risk.  They also indicate that 36 percent of the total freshwater fish in the United States are also at risk of extinction.

Above: Hotspot watersheds with 10 or more at-risk fish and mussel species are concentrated in the U. S. Southeast, reflecting the extraordinary freshwater diversity of rivers and streams in this region. From NatureServe– Rivers of Life: Critical Watersheds for Protecting Freshwater Biodiversity)Exit EPA Disclaimer

The rates of extinction of freshwater species and the number of endangered freshwater species are alarming. For example, the Nature Conservancy coupled with the Natural Heritage Network report that since the first European settlement, 21 out of 822 native American fish species have become extinct. A map of species at risk by watershed in the United States which illustrates that the Southeastern United States is experiencing some of the highest rates of risk (see map at left).

Species of concern include:

  • two-thirds of the nation’s freshwater mussels are at risk of extinction; almost 1 in 10 may already have vanished forever.
  • half of all crayfish species are in jeopardy
  • over 40% stoneflies are at risk
  • freshwater fishes and amphibians are doing little better, with about 40 percent of the species in these groups at risk
  • dragonfly and damselfy species have about 18% at risk.
Freshwater - image of an intermittent stream photo by Ohio EPA

The World Resources Institute on Biodiversity has also reported that almost 50 percent of freshwater snails in the Southeastern United States are now endangered or extinct due to channelization and impoundment of rivers.

Some major groups of organisms known to inhabit freshwater ecosystems include vertebrates (e.g., fish, amphibians, reptiles, birds, and mammals), invertebrates (e.g., protozoan, myxozoans, rotifers, worms, mollusks), plants, algae, fungi, and bacteria. Infectious agents such as viruses may also be present. As in marine environments, phytoplankton and zooplankton form the base of the food chain. Periphyton, macrophytes (aquatic plants), insects, fish, and amphibians are also found in freshwater environments. Various birds species like osprey, ducks, raptors also frequent freshwater systems.

Despite all of their value and importance, many freshwater ecosystems are being severely damaged by human activities. The major threats to freshwater biodiversity include runoff from agricultural and urban areas, the invasion of exotic species, and the creation of dams and water diversion. Overexploitation and pollution also threaten groundwater supplies. These kinds of threats and others have already significantly impacted the biodiversity within these ecosystems.

Freshwater - image of a wetland
Find out more about:

If you are interested in learning more about freshwater ecosystems check out the following web sites:

What to Do After the Flood

Drilled, driven or bored wells are best disinfected by a well or pump contractor, because it is difficult for the private owner to thoroughly disinfect these wells. If you suspect that your well may be contaminated, contact your local or state health department or agriculture extension agent for specific advice on disinfecting your well. The suggestions below are intended to supplement flood precautions issued by State and local health authorities.

Well and Pump Inspection

  • Flood Conditions at the Well - Swiftly moving flood water can carry large debris that could loosen well hardware, dislodge well construction materials or distort casing. Coarse sediment in the flood waters could erode pump components. If the well is not tightly capped, sediment and flood water could enter the well and contaminate it. Wells that are more than 10 years old or less than 50 feet deep are likely to be contaminated, even if there is no apparent damage. Floods may cause some wells to collapse.
  • Electrical System - After flood waters have receded and the pump and electrical system have dried, do not turn on the equipment until the wiring system has been checked by a qualified electrician, well contractor, or pump contractor. If the pump's control box was submerged during the flood all electrical components must be dry before electrical service can be restored. Get assistance in turning the pump on from a well or pump contractor.
  • Pump Operation - All pumps and their electrical components can be damaged by sediment and flood water. The pump including the valves and gears will need to be cleaned of silt and sand. If pumps are not cleaned and properly lubricated they can burn out. Get assistance from a well or pump contractor who will be able to clean, repair or maintain different types of pumps.

Emergency Disinfection of Wells that have been Flooded

Before Disinfection: Check the condition of your well. Make sure there is no exposed or damaged wiring. If you notice any damage, call a professional before the disinfection process.

1Materials Needed:

  • One gallon of non-scented household liquid bleach;
  • rubber gloves;
  • eye protection;
  • old clothes; and
  • a funnel.

Step 1
If your water is muddy or cloudy, run the water from an outside spigot with a hose attached until the water becomes clear and free of sediments.

2
Step 2
Determine what type of well you have and how to pour the bleach into the well. Some wells have a sanitary seal with either an air vent or a plug that can be removed (a). If it is a bored or dug well, the entire cover can be lifted off to provide a space for pouring the bleach into the well (b).
3

4
Step 3
Take the gallon of bleach and funnel (if needed) and carefully pour the bleach down into the well casing.
5
Step 4
After the bleach has been added, run water from an outside hose into the well casing until you smell chlorine coming from the hose. Then turn off the outside hose.
6
Step 5
Turn on all cold water faucets, inside and outside of house, until the chlorine odor is detected in each faucet, then shut them all off. If you have a water treatment system, switch it to bypass before turning on the indoor faucets.
7
Step 6
Wait 6 to 24 hours before turning the faucets back on. It is important not to drink, cook, bathe or wash with this water during the time period --- it contains high amounts of chlorine.
8
Step 7
Once the waiting period is up, turn on an outside spigot with hose attached and run the water into a safe area where it will not disturb plants, lakes, streams or septic tanks. Run the water until there is no longer a chlorine odor. Turn the water off.
9
Step 8
The system should now be disinfected, and you can now use the water.
Step 9
Have your water tested for bacteria 7 to 10 days after disinfection.


CAUTION: Because of the extensive flood area and the speed and direction of ground water flow, your well may not be a safe source of water for many months after the flood. The well can become contaminated with bacteria or other contaminants. Waste water from malfunctioning septic tanks or chemicals seeping into the ground can contaminate the ground water even after the water was tested and found to be safe. It will be necessary to take long range precautions, including repeated testing, to protect the safety of drinking water.

Sampling and Testing the Well Water

Contact the local health department to have well water sampled and tested for contamination. Or, call your state laboratory certification officer to find a certified lab near you. You can get this number from the Safe Drinking Water Hotline (800/426-4791).

If the health department issues sterile bottles for the private well owner to collect water samples, follow all instructions for the use of these bottles.

After the pump is back in operation, the health department should sample and test the water at regular intervals.


Coral Reef Indicators

Corals are anthozoans, the largest class of organisms within the phylum Cnidaria. Comprising over 6,000 known species, anthozoans also include sea fans, sea pansies and anemones. Stony corals (scleractinians) make up the largest order of anthozoans, and are the group primarily responsible for laying the foundations of, and building up, reef structures. For the most part, scleractinians are colonial organisms composed of hundreds to hundreds of thousands of individuals, called polyps (from NOAA - What are corals and coral reefs? The basic taxonomic classification of corals is below (from Reef Relief).Exit EPA Disclaimer

Coral Reef at Florida Keys - photo by Wayne Davis EPA
Phylum:
Cnidaria - All organisms belonging to this phylum are characterized by the presence of: tentacles, nematocysts (stinging cells), central digestive cavity, radial symmetry
Class:
Hydrozoa - Portuguese-man-of-war, Fire Coral, Hydroids, Siphonophores
Schvphozoa - Jelly fish (medusea)
Anthozoa - Sea anemones and corals
Subclass:
Octocorallia - Sea whips, Sea feathers, Sea plumes, Other gorgonians
Zooantharia
Order:
Actinaria - anemones
Zooanthiniaria - carpet anemones
Scleractina - true stony corals

For more on indicators, please visit Coral Reef Biocriteria.

Scleractinian Coral Bioindicators (true stony corals)

Coral Reef at USVI St. Croix - photo by Wayne Davis EPA
  • Percentage hard coral cover, diversity indices, and vitality indices
  • Growth rate (measurement of coral growth rates as an indication of water quality)
  • Productivity and calcification profiles (measurement of productivity and calcification profiles as an indication of water quality)
  • Coral fecundity and recruitment
  • Zooxanthellae loss (quantifying the occurence and extent of coral bleaching as a general bioassay of environmental stress on corals)
  • Coral diseases and cyanobacterial blooms (frequency and severity of occurances of coral diseases and cyanobacterial blooms)
  • Bioaccumulation of metals, phosphorus in coral skeletons
  • Physical damage
Non-Coral Bioindicators
  • Butterflyfish (for those species of butterflyfish which are obligate corallivores, a decline in the health of a reef, manifested by decreasing food quality of the stressed coral polyps, will result in a decrease in the abundance and diversity of these species and an increase in territory size, feeding rate and agonistic encounters as mated pairs attempt to maintain their nutritional intake by expanding their territories to include more coral colonies)
  • Ectoparasites on coral reef fishes (incidence of ectoparasitism on reef fishes should increase with deteriorating water quality)
  • Larval assemblages of fish and other reef taxa (sensitivity of larval fishes, along with their position in the pelagic food web, make them excellent indicators of environmental perturbations)
  • Indicators of Fishing/Shell Collecting
  • Organic contaminants and the development of fishes (occurrence of developmental defects in a demersal spawning fish as a bioindicator of pollution effects)
  • Bioaccumulation in molluscs and macrophytes
  • Sessile reef organisms (sponges, gorgonians)
  • Heterotrophic macroinvertebrates (stressed reefs undergo an "ecosystem shift" from those dominated by coral-algal symbionts towards those dominated by heterotrophic macroinvertebrates, especially scavengers, filter feeders, and internal bioeroders. )
  • Internal bioeroders (rubble, or live coral colonies, invaded by bioeroding sponges and bivalves)
  • Coelobites (reef cavity-dwellers)
  • Foraminifers (used as community response to gradually increasing nutrient flux, whether natural or anthropogenic)
  • Stomatopod crustaceans (stomatopod abundance, diversity, and recruitment are strongly negatively correlated with various pollution measures.)
  • Amphipods (are more sensitive than other species of invertebrates (decapods, polychaetes, molluscs, and asteroids) to a variety of contaminants.)
  • Gastropod imposex (imposition of male sexual characters on females is extremely sensitive indicator of exposure to tributyl tin)
  • Corallivores (specifically abundance of corallivores such as crown-of-thorns starfish (Acanthaster planci) and Drupella gastropods)

Aquatic Biodiversity - the Variety of Life

Photo of field biologist holding a small fish (Photo by Ohio EPA)

Aquatic biodiversity can be defined as the variety of life and the ecosystems that make up the freshwater, tidal, and marine regions of the world and their interactions. Aquatic biodiversity encompasses freshwater ecosystems, including lakes, ponds, and reservoirs, rivers and streams, groundwater, and wetlands. The banks of streams or riparian areas are also important areas associated with freshwater systems. It also consists of marine ecosystems, including oceans, estuaries, salt marshes, seagrass beds, coral reefs, kelp beds, and mangrove forests.

Aquatic ecosystems also provide a home to many species including phytoplankton, zooplankton, aquatic plants, insects, fish, birds, mammals, and others. They are organized at many levels, from the smallest building blocks of life to complete ecosystems, encompassing communities, populations, species, and genetic levels. In summary, aquatic biodiversity includes all unique species and habitats, and the interaction between them.

Why is Aquatic Biodiversity Important?

Aquatic biodiversity has enormous economic and aesthetic value and is largely responsible for maintaining and supporting overall environmental health. Humans have long depended on aquatic resources for food, medicines, and materials as well as for recreational and commercial purposes such as fishing and tourism. Aquatic organisms also rely upon the great diversity of aquatic habitats and resources for food, materials, and breeding grounds.

Factors including overexploitation of species, the introduction of exotic species, pollution from urban, industrial, and agricultural areas, as well as habitat loss and alteration through damming and water diversion all contribute to the declining levels of aquatic biodiversity in both freshwaterand marine environments. As a result, valuable aquatic resources are becoming increasingly susceptible to both natural and artificial environmental changes. Thus, conservation strategies to protect and conserve aquatic life is necessary to maintain the balance of nature and support the availability of resources for future generations.

The Nature Conservancy recently published the document Precious Heritage: The Status of Biodiversity in the United States Exit EPA Disclaimer that illustrates the concerns with growing loss of aquatic biodiversity, as indicated by the two figures presented on this page.

The U.S. Environmental Protection Agency's Great Lakes National Program Office (GLNPO) website has a document titled The Conservation of Biological Diversity in the Great Lakes Ecosystem: Issues and Opportunities, prepared by The Nature Conservancy Exit EPA Disclaimer, which provides a good example of how loss of biodiversity can affect an ecosystem.

"The health of the lakes and their biological diversity is directly related to the health of each component of the ecosystem. Similarly, the lakes are adversely affected when disturbances occur in one of the systems. For example, alterations in the upper watershed can impact the entire lake ecosystem. When a forest is cleared, not only is the physical structure of the terrestrial ecosystem altered, the tributary streams, coastal areas and the open lake can also be affected. When vegetation is removed near a tributary, precipitation is allowed to run off directly into the river or stream, causing flows in these streams to increase much more quickly (following rainfall). This run-off also picks up more soil than it otherwise would, and the load of sediment in the tributary will be increased. The increased sediments can destroy the habitat required by fish and insect species and can prevent the spawning of anadromous fishes which spend most of their lives in the open lake. These sediments can also accelerate the formation of sand bars and blockages at rivermouths, altering nearby coasts."

Selasa, 19 Juli 2011

AQUATOX

One of the biggest challenges to protecting or restoring our nation’s waters is to adequately understand the relationships between the chemical and physical environment and the organisms that live there. Ecosystems are complex, with seasonal and annual variations and multiple interactions among species. The biological communities in many water bodies are impaired, but the causes of the impairment may not be obvious in the face of numerous environmental stressors. It is difficult to predict how the aquatic community will respond to changes in pollutants or environmental conditions with simple methods of analysis, especially if the methods address a single stressor at a time. A complex simulation model may be required

About AQUATOX

AQUATOX is a PC-based ecosystem model that predicts the fate of nutrients, sediments, and organic chemicals in water bodies, as well as their direct and indirect effects on the resident organisms. AQUATOX simulates the transfer of biomass and chemicals from one compartment of the ecosystem to another. It does this by simultaneously computing important chemical and biological processes over time. AQUATOX simulates multiple environmental stressors (including nutrients, organic loadings, sediments, toxic chemicals, and temperature) and their effects on the algal, macrophyte, invertebrate, and fish communities. AQUATOX can help identify and understand the cause and effect relationships between chemical water quality, the physical environment, and aquatic life. It can represent a variety of aquatic ecosystems, including vertically stratified lakes, reservoirs and ponds, rivers and streams, and now estuaries.

AQUATOX Applications

AQUATOX can be used to address a wide variety of issues requiring a better understanding of the processes relating the chemical and physical environment to the biological community. Possible applications of AQUATOX include:

  • Developing numeric nutrient targets based on desired biological endpoints.
  • Evaluating which of several stressors is causing observed biological impairment.
  • Predicting effects of pesticides and other toxic substances on aquatic life.
  • Evaluating potential ecosystem responses to climate change.
  • Determining effects of land use changes on aquatic life by using the linkage with BASINS.
  • Estimating time of recovery of fish communities after reducing pollutant loads.
aquatox_diagram_rel3

contact Marjorie Coombs Wellman at (202) 566-0407 or wellman.marjorie@epa.gov.

Kamis, 07 Agustus 2008

Paradigma pengelolaan hutan… perlukah diubah?




Kesalahan dalam mengelola hutan akan memberikan dampak yang sangatbesar terhadap kondisi sosial, ekonomi, maupun lingkungan. Sebenarnyapengelolaan hutan di Indonesia mempunyai dasar yang cukup kuat yaitu dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Kehutanan tentang Hutan Kemasyarakatan, yaitu:



1. Pengelolaan hutan diubah dari sistem hutan berbasis produksi kayu (timber
management) menjadi berbasis sumber daya hutan yang berkelanjutan
(resources based management)
2. Pemberian hak penguasaan hutan yang awalnya lebih ditujukan kepada
usaha skala besar, beralih pada usaha berbasis masyarakat (community based
forest management)
3. Orientasi kelestarian hutan yang ditekankan pada aspek ekonomi
(produksi kayu) saja, diubah pada upaya mengakomodir kelestarian fungsi
sosial, ekonomi, dan lingkungan
4. Pengelolaan hutan yang semula sentralistis menuju desentralistis,
memberikan kesempatan kepada daerah untuk mengelola hutan secara
demokratis, partisipatif, dan terbuka
5. Era produksi, yang mengutamakan hasil kayu akan dikurangi secara
bertahap (soft landing process), menuju era rehabilitasi dan konservasi untuk
pemulihan kualitas lingkungan yang lestari.




Apa yang terjadi dengan hutan kita?




Sejak diberlakukannya ijin pengelolaan hutan, kondisi hutan di Indonesia semakin menurun. Berdasarkan hasil citra landsat tahun 1999-2000 yang dilakukan oleh Departemen Kehutanan (Surachmanto, 2002), kondisi penutupan vegetasi pada kawasan hutan seluas 93,5 juta ha di Indonesia selain Papua adalah: Hutan primer 20,4 juta ha (21,8%), hutan tanaman 2,4 juta ha
(2,6%), hutan sekunder 29,7 juta ha (31,8%), non- hutan (semak-belukar, padang alang-alang, lahan kosong) 27,6 juta ha (29,5%), tidak dapat diidentifikasi (tertutup awan, dsb) 13,4 juta ha (14,3%) Kondisi hutan terus mengalami kerusakan dengan laju degradasi sekarang mencapai 2 juta/tahun (Iskandar, 2000) meningkat dari hanya 0,9 ha/tahun pada 1980-1990. Lahan yang mengalami kerusakan mencapai 56,9 juta ha, yang terdiri dari: lahan kritis di luar kawasan hutan 15,1 juta ha, lahan kritis di dalam kawasan hutan lindung dan konservasi 8,1 juta ha, hutan rusak di dalam kawasan hutan produksi 27,8 juta ha, hutan mangrove di dalam dan luar
kawasan hutan 5,9 juta ha


Analisa Usaha Mina Padi

Mina padi adalah salah satu tipe budidaya ikan di sawah dimana ikan dan padi ditanam secara bersama-sama. Untuk usaha ini tidak diperlukan kekhususan konstruksi sawah, hanya saja perlu dibuatkan kemalir (caren), yaitu semacam parit disekeliling dalam petakan sawah dengan diagonal atau menyilang pada petakan sawah. Kemalir ini berfungsi sebagai tempat berlindung ikan dan untuk memudahkan dalam pemanenan ikan. Ukuran lebar kemalir umumnya berkisar antara 40 - 60 cm dengan kedalaman air 40 cm. Jenis ikan yang biasanya dipelihara dengan cara ini antara lain : ikan Mas, Karper, Tawes, Nilem, Mujair dan Nila. Ikan mas dan Karper merupakan jenis-jenis yang paling baik dipelihara di sawah karena ikan-ikan tersebut tumbuh dengan baik dengan air dangkal serta tahan panas.
Penebaran ikan dilakukan setelah padi berumur 5 -7 hari dengan lama pemeliharaan ikan disawah sebaiknya 60 hari. Sasaran dari usaha pemeliharaan ikan bersama padi ini adalah untuk meningkatkan pendapatan petani, karena disamping hasil tanaman padi, diperoleh juga tambahan hasil berupa ikan. Selain itu nilai gizi keluarga dapat terpenuhi serta resiko kegagalan panen dapat dikurangi.

PERSYARATAN SAWAH UNTUK MINA PADI

1. Tersedianya air yang cukup serta pengairan yang baik selama pemeliharan dilakukan, agar ikan tidak mengalami kekurangan air.
2. Sawah harus subur. Untuk itu berilah pupuk bila diperlukan.
3. Sawah harus bebas banjir.
4. Sawah mudah dikeringkan agar memudahkan perawatan tanaman padi, juga agar memudahkan dalam pemanenan ikan nanti.
5. Tanah sebaiknya agak liat, gunanya untuk menjaga tetap tersedianya air dalam sawah.
6. Aman dari bahaya pencurian.
7. Berapakah besar tambahan hasil dari pemeliharaan ikan ?
8. Berikut disajikan contoh perhitungan biaya dan pendapatan usaha tani mina padi ini.

I. USAHA PENBESARAN BENIH
v Jumlah benih untuk sawah 1 Ha 50.000 ekor (ukuran 1-3 cm).
v Harga benih : Rp. 25/ekor
v Panen diharapkan setelah 1 bulan pemeliharaan, pada ukuran 5-8 cm dengan harga jual Rp. 75/ekor.
v Mortalitas 30 %
v Jumlah panen untuk 1 kali tebar = 50.000 -(30/100 x 50.000) = 35.000 ekor
v Pemberian pakan tambahan Dedak halus 2 x 3,5 kg/hari, harga dedak Rp. 100/kg
v Selama dua bulan dapat dilakukan 2 kali penebaran untuk masa pemeliharaan masing-masing 1 bulan.

Perhitungan
A. Biaya yang dikeluarkan
Pembelian benih: 2 x 50.000 x Rp. 25.-= RP. 2.500.000.
Pembelian pakan: 2 x 2 x 3,5 N 30 x Rp. 100,-= Rp. 42.000,
Upah tenaga kerja Rp. 45.000,
Total biaya Rp. 2.587.000,
B. Pendapatan
Jumlah panen : 2 x 35.000 ekor = 70.000 ekor
Nilai jual : 70.000 x Rp. 75, = Rp. 5.250.000,
Keuntungan Rp. 5.250.000 - Rp. 2.587.000 = Rp. 2.663.000,
Revenue Cost Ratio ( R/C )

5.550.000
--------------- = 2,03
2.587.000

Benefit Cost Ratio ( B/C )
2.663.000
--------------- = 1.03
2.587.000

II. USAHA PEMELIHARAAN IKAN KONSUMSI
A. Biaya yang dikeluarkan
Benih : 5.000 x Rp. 150,- = Rp. 750.000,-
Pelet : 2 x 12 x 60 x Rp.500,- = Rp. 720.000,-
Upah kerja : = Rp. 45.000,Total
biaya = Rp. 1.515.000,

B. Pendapatan
Jumlah berat ikan yang dipanen 4.500 ekor ukuran 1 kg = 4 ekor
4.500 x 250/1000 kg = 1.125 kg.
Nilai jual ikan = 1.125 x Rp. 3.000,- = RP. 3.375.000,-

C. Keuntungan =Rp. 3.375.000 - Rp. 1.515.000 = Rp. 1.860.000,


Revenue Cost Ratio ( R/C )
3.375.000
-------------- = 2,20
1.515.000

Benefit Cost Ratio ( B/C )
1.860.000
--------------- = 1.20
1.515.000
Dari perhitungan diatas dapat disimpulkan bahwa usaha ini menguntungkan.

Kenyataan ini di tanah air kita terbukti bahwa pemerintah lewat Departemen Pertanian telah merencanakan menaikkan jumlah propinsi peserta program usaha mina padi ini dari 2 propinsi menjadi 14 propinsi untuk kegiatan musim tanam tahun mendatang.

S u m b e r: Dinas Perikanan Dati I Irian Jaya

Rabu, 06 Agustus 2008

Restocking Ikan

Luas perairan umum di Indonesia sampai saat ini diperkirakan lebih dari 55 juta ha, yang terdiri dari perairan sungai beserta lebaknya seluas 11,95 juta ha; danau alam, dan buatan seluas 2,1 juta ha, dan perairan rawa seluas 39,4 juta ha. Dari total luas perairan umum, 60 % berada Kalimantan, 30 %-nya berada di Sumatera dan sisanya di Sulawesi, Jawa, Bali, NTB dan Irian Jaya. Sedangkan jenis ikan yang ada sekitar 600 spesies, termasuk diantaranya jenis ekonomis penting, ikan budidaya atau diperkirakan dapat dibudidayakan

Perairan umum mempunyai posisi yang strategis dan berfungsi multi guna, selain dimanfaatkan sektor perikanan, juga dimanfaatkan oleh sektor perindustrian, pariwisata, perhubungan, pemukiman dan sebagainya. Perairan umum terdiri dari danau, waduk, rawa, lebak, sungai serta genangan lainnya, merupakan salah satu sumberdaya perairan yang potensial untuk lebih dikembangkan dalam memenuhi kebutuhan pangan bagi manusia, khususnya kebutuhan protein hewani dari ikan. Pemanfaatan perairan umum tersebut umumnya dilakukan melalui kegiatan penangkapan ikan, namun dengan semakin berkembangnya teknologi dan keterampilan masyarakat, maka perairan umum telah dimanfaatkan untuk kegiatan usaha budidaya perikanan secara intensif. Produksi perikanan perairan umum sebagian besar didominasi oleh produksi penangkapan, kini terjadi pergeseran ke arah sektor budidaya. Pergeseran ini terlihat dari penurunan perikanan hasil penangkapan serta meningkatnya produksi dari usaha budidaya di perairan umum.

Pengelolaan perairan umum sebagai salah satu upaya kegiatan perikanan dalam memanfaatkan sumberdaya secara berkesinambungan perlu dilakukan secara bijaksana. Kegiatan pemanfaatan sumberdaya ikan di perairan umum melalui kegiatan penangkapan dan budidaya mempunyai kecenderungan semakin tidak terkendali, dimana jumlah tangkap tidak lagi seimbang dengan daya pulihnya. Agar terjadi keseimbangan maka diperlukan pengelolaan sumberdaya yang lebih hati-hati. di perairan umum agar tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan, serta terjaminnya kelangsungan usaha pemanfaatan sumberdya ikan dengan tetap mempertahankan kelestarian sumberdaya ikan di perairan umum.

Restocking adalah salah satu upaya penambahan stock ikan tangkapan untuk ditebarkan di perairan umum, pada perairan yang dianggap telah mengalami krisis akibat padat tangkap atau tingkat pemanfaatannya berlebihan. Tujuan restocking selain menambah stock ikan agar dapat dipanen sebagai ikan konsumsi, juga bertujuan mengembalikan fungsi dan peran perairan umum sebagai ekosistem akuatik yang seimbang.(Tri Hariyanto)